SEJARAH KOTA KUNO BARUS DI LOBU TUA

Sejarah Kota Kuno Barus Di Lobu Tua


Sejarah Kota Kuno Barus Di Lobu Tua

Mahessa83-Berita tentang kejayaan kota kuno Barus sebagai bandar niaga internasional sudah ada sejak zaman Mesir Kuno yang dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptelemaus, Seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke-2 masehi.

Pada peta tersebut dijelaskan bahwa di pesisir barat pulau Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari Kapur Barus. Diceritakan Kapur Barus yang diolah dari Kayu Kanfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekaisaran Dinasti Fir'aun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun sebelum masehi.

Sejarah Kota Kuno Barus Di Lobu Tua

Berdasarkan tulisan Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7 masehi. Makam tua di komplek pemakaman Mahligai, Barus yang dibatu nisannya tertulis Syekh Rukuniddin wafat pada tahun 672 masehi atau 48 Hijriah, menguatkan komunitas muslim pada era tersebut.

Dewan Gereja-Gereja di Indonesia juga mempercayai sejak tahun 645 masehi di daerah Barus telah masuk ummat Kristen dari Sekte Nestorian. Keyakinan tersebut berdasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salim Al-Armini, Sementara itu penjelajah dari Armenia, Maboushl mencatat bahwa pada abad ke-12 masehi telah terdapat Gereja Nestorian.

Penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dan kawan-kawan dari Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus membuktikan pada abad IX--XII perkampungan multi etnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minagkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya juga telah ada di sana. 

Pada tahun 1872 pejabat Belanda, GJJ.Deutz menemukan batu bertuliskan bahasa Tamil. Tahun 1931, Prof. Dr. KA Nilakanta Sasri dari Universitas Madras, India Menerjemahkannya. Menurutnya batu tersebut bertahunkan Saka 1010 atau 1088 masehi di zaman pemerintahan Raja Gola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan tersebut berartikan tentan perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan dan ketentuan lainya.

Lobu Tua yang merupakan kawasan multi etnis di Barus ditinggalkan mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 masehi setelah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.

"Berdasarkan data tidak adanya peninggalan arkeologi yang dihasilkan setelah abad ke-12 masehi. Namun para ahli sejarah sampai saat ini belum bisa mengindentifikasi tentang sosok Gergasi ini," papar Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan.

Setelah ditinggalkan oleh komunitas multi etnis tersebut kota Barus kemudian di huni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara dari kota ini. Situs Bukit Pasang merupakan Situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua.

Sampai misi dagang Belanda dan Portugis masuk peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus pada awal abad ke-16 masehi mencatat Barus merupakan pelabuhan yang ramai dan makmur.

"Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires.
Tahun 1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir.
Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.
Perlawanan rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840, Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara Barus Raya.
Namun, pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut hasil bumi dari pelabuhan Sibolga.
Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka.
Pesatnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil.
Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus.
Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan.
Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.
Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.
Kini, Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.
Sumber: Sisi Lain
               
Views
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Berkomentarlah sesuai topik artikel. Komentar yang tidak relevan dengan topik artikel akan terhapus.

Note: only a member of this blog may post a comment.

Blog Archive

Bookmarking

Ikuti Facebook