Penemuan Fosil Hutan Tropis Di Arctic Norwegia
Mahessa83-Para ilmuwan melihat tunggul fosil di Hutan Tropis di Arctic Norwegia. Hutan lebat dengan pohon-pohon setinggi 12 kaki dan batang yang lebar serta cabang daun yang melengkung dengan hutan yang luas dekat khatulistiwa seperti pada 280 juta tahun yang lalu.
Hutan ini bukan saja sebagai salah satu hutan tertua di bumi tetapi hutan ini juga mempunyai distribusi yang besar terhadap penurunan karbon dioksida di atsmosfer dari waktu ke waktu.
Selama Periode Devonian (416.000.000-358.000.000 tahun yang lalu) pohon-pohon besar yang tumbuh di bumi sekitar waktu itu karbon dioksida di atsmosfer turun secara signitifkan. Para ilmuwan melihat hutan ini sebagai bukti bahwa pohon-pohon di hutan ini mempunyai peranan yang penting dalam penurunan CO2 dari atsmosfer. Pohon menggunakan gas rumah kaca untuk berfotosentesis dan membentuk makanan manis. Berkontribusi terhadap peristiwa pendinginan global yang terjadi pada masa Periode Devonian.
Penemuan terbaru dari Hutan Kuno Svalbard yang terletak di sekelompok pulau di Norwegia di Samudra Arctic menarik perhatian Chris Berry dan Cardiff University. Berry mendengar keberadaan hutan kuno ini dari rekan Jermannya yang berkerja di tempat itu dan langsung ingin menyelidiki keberadaan hutan kuno tersebut.
Lebih tua dari yang diperkirakan
Rekan Berry, John Marshall dari Southampton University Di hitung usia hutan dari mengekstraksi spora dari batu dan membandingkan spora mereka dengan yang lainya dari tempat serupa. Mereka menemukan bahwa hutan fosil sebenarnya 20 juta tahun lebih tua dari perkiraan sebelumnya. Marshall dan Berry menyadari bahwa mereka berhadapan dengan sesuatu yang "benar dari awal ekosistem hutan", kata Berry.
Mereka menduga bahwa pohon-pohon pada awalnya tumbuh di baskom dengan lebar 0,6 mil (1 kilometer) serta panjang 3,1 mil (5 kilometer). Meskipun luas hutan ini hanya beberapa meter persegi, Tetapi sisa-sisa fosil di tempat ini terlihat pada permukaannya.
Parailmuwan menyelidiki menyelidiki tiga bidang kecil di Svalbard dimana bahan fosil terlihat di atas permukaan tanah dan masih banyak lagi yang di temukan disekitar tebing di dekatnya. "Di tebing ada banyak lapisan pohon fosil" kata Berry kepada LiveScience.
Penurunan CO2
Sebelum penggeseran benua dilakukan hutan utara oleh beberapa ribu mil, hutan banyak tumbuh di dekat Khatulistiwa. Tetapi Hutan Kuno Svalbard tidak menyerupai Hutan modern pada umumnya, Pohon-pohon kuno yang muncul pada 380 juta tahun yang lalu sebagian besar lypcopsyd yang juga dikenal sebagai "Klub Lumut" Lycopsids menghasilkan daun dengan vena tunggal dan mereproduksi dengan spora. Mungkin ada sekitar 1.200 lycopsids yang masih hidup hingga saat ini.
Di Svalbard, Lycopsids tumbuh hingga ketinggian sekitar 13 kaki ( 4 meter) dan akan lebih ketat di kemas dengan kesenjangan sekitar 0.7 kaki (20 cm) antara pohon yang satu dengan pohon lainnya. Batangnya akan melebar sedikit dibagian bawah dengan beberapa diantaranya memegang pola berlian atau berbentuk oval. Pohon "Scrub" Karbon dioksida darui atsmosfer dengan menyerap melalui fotosentesis dan hutan seperti ini kemungkinan akan diserap lebih banyak CO2 dibandingkan dengan tanaman hidup lainnya yang lebih kecil tertutup planet.
Dalam sebuah pernyataan, Berry menggambarkan penampilan pohon di bumi sebagai penyebab yang paling mungkin dari penurunan karbon dioksida di atsmosfer selama Periode Devonian, Ketika CO2 menurun drastis dari sekitar 15 kali dari yang sekarang.
Keragaman Awal
Hutan Svalbard bukan satu-satunya hutan kuno yang ada di bumi. Berry sebelumnya sudah menganalisis hutan kuno lainnya seperti Hutan Kuno Gilboa, New York tetapi dengan komposisi hutan yang berbeda. Pohon pandan-pandan raksasa di hutan ini terbuat dari ribuan akar dan hanya sedikit terdapat lycopsids.
Menariknya pohon-pohon yang ada di Hutan Kuno Gilboa ini benar-benar tidak ada di Hutan Kuno Svalbard. "Ini menunjukkan bahwa lebih dari satu kelompok pohon adalah hutan yang terbentuk tidak sama antara hutan yang satu dengan hutan yang lainnya di bumi ini", kata Berry kepada LiveScience.
Sumber: LiveScience.
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah sesuai topik artikel. Komentar yang tidak relevan dengan topik artikel akan terhapus.
Note: only a member of this blog may post a comment.